20 August 2007

Sepeda lawas, memiliki kenangan tersendiri

Kring..kring, kring ada sepeda, sepedaku roda tiga, kudapat dari ayah, karena rajin belajar.

Begitulah penggalan nyanyian anak-anak yang kini jarang terdengar lagi. Sebagai alat transportasi, sepeda kini seakan terpinggirkan oleh sepeda motor. Coba saja lihat, kini hampir langka kita melihat anak-anak bermain dan pergi sekolah dengan bersepeda. Atau orang-orang yang pergi beraktifitas ke kantor dan lainnya mengayuh sepeda, hampir semuanya menggunakan sepeda motor. Benar bukan?

Bicara soal sepeda, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa seorang John Kemp Starley dan John Boyd Dunlop. Pada 1886, Kemp menciptakan sepeda yang lebih aman untuk dikendarai. Ia menyempurnakan sepeda hasil ciptaan penemun para pendahulu dengan rantai. Rantai tersebut untuk menggerakan roda belakang dengan ukuran rodanya yang sama.

Sementara penemuan John Boyd Dunlop yang tidak kalah pentingnya adalah teknologi ban sepeda yang diisi dengan angin. Konon, dari penemuan Boyd inilah sepeda banyak disebut dengan julukan kereta angin. Dari kedua inventor itulah sepeda mulai banyak mengalami kemajuan. Mulai dari rem, perbandingan gigi yang bisa diganti-ganti, setang yang bisa digerakkan dan penemuan-penemuan lain yang akhirnya membuat sepeda memiliki daya tarik sendiri.

Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat dan mulai menjadi alat transportasi yang mengasyikan. Beragam bentuk sepeda pun berhasil diciptakan. Ada sepeda roda tiga, sepeda mini, sepeda balap dan sepeda kumbang.

Sepeda di Indonesia
Keberadaan sepeda di tanah air tidak terlepas dari pengaruh kolonial Belanda. Sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda memboyong sepeda buatan dalam negerinya untuk dipakai berkeliling menikmati segarnya udara Indonesia ketika itu. Hingga pada akhirnya menular pada warga pribumi, terutama mereka yang berdarah biru alias kaum bangsawan.

Pada masa berikutnya, sepeda banyak dianggap sebagai alat transportasi yang multi fungsi. Hingga akhirnya tidak hanya digunakan sebagai sarana menikmati kesegaran udara saja, tetapi juga digunakan sebagai alat transportasi para opas (tentara masa kolonial Belanda) dan pengantar surat. Sementara dalam aktifitas sehari-hari, di kaum pribumi pun sepeda mengalami hal yang sama. Para guru dan para pegawai pemerintah kolonial waktu itu pun menjadikan sepeda sebagai tunggangan utama mereka.

Fungsi sepeda pun terus mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan waktu. Memasuki abad yang semakin canggih, sepeda mulai kehilangan masa jayanya. Masuknya kendaraan bermotor, sepeda perlahan mulai ditinggalkan. Perannya mulai tergantikan mobil dan sepeda motor. Kini, sepeda tidak lebih sebagai benda lawas.

Kendati demikian, bukan berarti jasa dan citra sepeda lawas terlupakan begitu saja. Bagi sebagian orang, sepeda lawas merupakan benda yang memiliki kenangan tersendiri. Berangkat dari situlah tumbuh semangat untuk terus merawat dan memelihara segala bentuk dan pernak-pernik yang ada pada sepeda lawas. Alhasil, tumbuhlah berbagai komunitas atau kelompok-kelompok penghobi sekaligus pemerhati yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Seperti Buitenzorg Onthel Club (BOC) di Bogor misalnya.

Rata-rata, sepeda lawas di klub yang sebelumnya bernama GASEL (Gabungan Sepeda Lawas) ini keluaran pabrikan Eropa. Dan mereka sangat cermat dalam merawatnya. “Sepeda yang dimiliki klub ini semuanya sepeda lawas dan berumur. Artinya, sepeda buatan antara tahun 1940 sampai 1960 yang diontel atau dikayuh,” papar Rizal, sekertaris BOC.

Meski sepeda lawas dan sudah berumur, namun jangan salah. Semua sepeda yang dimiliki anggota BOC tidak terlihat satu pun yang kusam. Semuanya masih terlihat mengkilap dan terawat bagus. Seperti sepeda bermerek Fongers buatan Belanda milik H. Tajuddin. Kendati sudah berumur, namun sepeda yang dibelinya setahun lalu itu masih terlihat kokoh. “Sadle (saddel-red) ini masih asli, buatan Jerman. Dan ini termasuk yang sudah langka, maka harus dirawat dengan baik,” ujar karyawan PLN APJ Bogor ini.

Awal berdirinya klub ini, menurut Nasti Siregar, Ketua BOC, terbentuk dari kumpul-kumpul beberapa penggemar yang ingin melestarikan sepeda lawas. Dari kumpul-kumpul tadi, akhirnya timbulah ide untuk membentuk satu wadah penggemar sepeda lawas yang ada di Bogor dan sekitarnya. Alhasil, Kini terkumpul sekitar tujuh puluhan penggemar. “Siapapun bisa menjadi anggota BOC, asalkan punya sepeda onthel,” sambungnya.

Selain rutin berkumpul di depan Balaikota Bogor tiap hari Minggu, berbagai kegiatan kerap pula mereka ikuti. BOC juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan sepeda lawas dengan klub lain seperti Bandung dan Jakarta maupun daerah lainnya. Tidak hanya itu, BOC juga kerap mengadakan kegiatan sosial mengajak masyarakat untuk hemat energi. Seperti ketika perayaan hari jadi Kota Bogor 3 Juni lalu. Mereka tidak hanya berkonvoi, tetapi juga memperkenalkan kepada masyarakat bahwa sebelum adanya kendaraan bermotor masyarakat mengunakan sepeda.

No comments: