09 August 2007

Si Montok yang murah dan sarat nostalgia



Sebagai ibukota negara dan kota terbesar, Jakarta merupakan miniatur bagi bangsa Indonesia. Di mana semua etnik, ras, suku bangsa dan budaya nusantara ada di sini dengan beragam aktifitas baik bekerja, wirausaha atau kuliah. Di sini semua kebutuhan hidup hampir semuanya tersedia.

Dengan kenyataan seperti itulah, tidak mengherankan jika Jakarta menjadi kota yang sibuk setiap harinya. Kemacetan serta kesemrawutan lalu lintas tidak dapat dihindarkan dan sudah menjadi pemandangan umum. Sepanjang hari ruas-ruas jalan seakan disesaki kendaraan pribadi, kendati sarana transportasi umum tersedia seperti busway, bis kota, kereta rel listrik (KRL), bajaj dan bemo. Nama yang disebut terakhir merupakan sarana transportasi kuno.

Wujud bemo yang tampak tua merupakan gambaran bahwa angkutan ini telah melewati waktu yang panjang. Kendati begitu, masih terlihat gesit dan setia mengantar penumpang ke tempat tujuan. Coba saja tengok di kawasan Karet dan Manggarai, Jakarta Selatan.

Kendati jumlahnya tidak sebanyak dahulu dan bahkan keberadaannya akan dihapus oleh pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta, angkutan yang konon awalnya didatangkan oleh tentara Jepang ini masih menjadi tranpsortasi pilihan warga Jakarta. Seperti Ratna Agustin misalnya, karyawati sebuah bank swasta di Salemba ini mengaku selalu setia menggunakan bemo. Baginya, bemo bukan sekedar angkutan umum saja, tetapi memiliki sisi kenangan masa kecil. ”Dulu waktu kecil saya sering diajak ibu naik bemo, dari rumah ke Pasar Rumput. Jadi kalau naik bemo, meski dengkul beradu tapi selalu ingat nostalgia dulu,” ujarnya tersenyum.

Lain halnya dengan Prasetyo, karyawan sebuah akuntan publik di Pejompongan ini mengaku lebih memilih bemo karena ongkosnya yang relatif murah. Ia hanya cukup mengeluarkan ongkos Rp.2000 dari tempatnya tinggal di kawasan Karet hingga persis di depan kantor. ”Ada sih Kopaja atau mikrolet, tapi ngetem-nya ga tahan.” sambungnya.

Rencana penghapusan bemo sendiri sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi. Banyak kalangan menyayangkan jika pemda akan menghapusnya. Selain memiliki nilai sejarah, bemo lebih banyak beroperasi di jalan-jalan kecil masuk keluar kampung sehingga berlebihan kiranya jika bemo dinilai sebagai salah satu penyebab kemacetan dan polusi.

Baiknya, pemda mencari solusi bagaimana bemo tetap dapat bertahan. Mungkin dengan mengubahnya menjadi kendaraan berbahan bakar gas seperti bajaj dan tidak menghilangkan bentuk mungil dan montoknya. Sehingga bemo benar-benar bisa dianggap layak hidup di Jakarta yang masih bermimpi menanti kelahiran monorail dan kereta bawah tanah.


No comments: